Jumat, 27 Februari 2015

Untuk Pertemanan Bag. 1

Jumat malam, ini tepatnya pukul 23.15, saya kembali harus menulis dan melanjutkan edisi pandawa rebel yang terus menerus menagih janjinya untuk segera di lunasi. agak malam memang, karena beberapa jam lalu saya mesti mengantar pacar ke sebuah mall di sampit untuk bertemu beberapa kawan lama nya yang pernah sama sama merantau di jakarta dulu, sewaktu dia kuliah. Dan mengenai hal ini, saya harus meminta maaf kepada abdi yang terus menerus mengingatkan saya untuk segera menambah beberapa tulisan kami yang memang kurang beberapa halaman untuk zine edisi kedua ini.

Jauh beberapa tahun yang lalu, mungkin sekitar 5 – 6 tahun, saya kembali teringat alm. Lutfi, kawan kami. dia adalah pemain bola di sekolah sewaktu SMA. sungguh luar biasa jika seandainya dia masih bisa hidup sampai sekarang, mungkin karir nya dalam dunia persepak bolaan akan melesat jauh sangat tinggi, atau kemungkinan terburuk dia hanya akan menjadi pemain futsal yang seminggu dua kali mengucurkan keringat di sela sela kesibukan ini itu di siang hari, seperti halnya manusia pada umumnya. Tidak tau kenapa bisa teringat kawan lama yang sudah meninggal lebih dulu, mungkin ini salah satu faktor umur saya yang semakin hari semakin menua, semakin lembut menghadapi hidup, semacam iwan fals yang sekarang membintangi sebuah iklan kopi dan merasa nikmat ketika meminumnya.

Dulu, kami memang agak kurang akrab berteman, tapi ada beberapa waktu yang bersamaan ketika dia bermain ke pandawa, kerumah saya yang merupakan markas anak anak untuk memulai malam yang panjang. sebuah kebanggaan yang dalam menikmatinya dirasa penuh suka cita. malam yang selalu kami tunggu ketika seharian mendapat hukuman di sekolah, dan mebusuk dalam pelajaran yang tidak kami sukai. dan saat dia mulai mencampur alkohol 75% kedalam botol aqua yang berisi air dicampur dengan kuku bima, dengan sangat hati hati sekali agar tidak ketahuan orang tua saya, saat itulah yang mengingatkan saya bahwa hari ini tidak ada kawan yang mempunyai semangat sebesar dia. jauh sekali dia berjalan kaki menuju rumah saya hanya untuk berbagi nikmatnya mabuk bersama, walau dengan cara sembunyi sembunyi. hingga akhirnya kami keluar pagar dan menggila pada malam itu, tertawa dan terbahak menceritakan kebodohan kawan kawan yang selalu bolos tiap kepala sekolah memulai pelajaran. dan sudah tentu kami bernyanyi di tengah jalan sehingga sering kali pak syarif, guru sosiologi kami keluar rumah untuk memastikan kami baik baik saja, karena rumahnya memang tepat di depan rumah saya. dan beberapa tahun berselang, setelah kami keluar dari busuk nya masa masa SMA, dan memulai kehidupan selanjutnya. kabar duka dari orang tua saya sangat mengejutkan, karena katanya dia ( Lutfi ) meninggal dan besok pagi di kuburkan. dia meninggal tepat di lapangan sepak bola, dan pada saat pertandingan di istirahatkan beberapa menit. kabarnya, ketika itu dia sedang asik menimang bolanya, kemudian jatuh tersungkur.

Jam sekarang menunjukkan pukul, 00.07. sekilas wajah kawan saya yang sudah almarhum itu terbayang jelas seperti tersenyum ketika saya menuliskan tentang dirinya. kemudian terdapat buku yang belum saya baca dengan judul Freedom from the self yang terletak di samping komputer, seolah olah mengingatkan kami, bahwa ini lah puncak yang kita cari selama ini wahai kawan !